Rijalul Imam
Ketua Umum PP KAMMI


Sejatinya bulan Mei ini diperingati dengan suka cita. Sebab di bulan ini terhimpun tiga momentum nasional dan satu momentum internasional. Yaitu Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei (May Day), Hari Pendidikan Nasional (hardiknas) pada 2 Mei, Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada 20 Mei, dan Hari Reformasi Nasional yang jatuh pada 21 Mei dalam rangka mengakhiri Orde Baru sekaligus tonggak pertama reformasi kebangsaan dimulai. Suka cita itu sepertinya akan masih tampak suram melihat kondisi aktual saat ini.

Di hari Buruh, banyak pekerja buruh semakin terancam pekerjaannya. Awal mula May Day adalah gerakan protes dalam rangka melindungi buruh dari kebijakan out sourcing. Buruh bekerja berdasarkan kontrak. Pasca kontrak nasib mereka tidak jelas. Kini mereka semakin terancam ketika banyak pabrik yang gulung tikar akibat barang Cina masuk ke dalam negeri. Murah meriahnya produk Cina menggeser produk lokal bagaikan tsunami. Produk asing masuk tanpa proteksi yang berarti, proteksi dilakukan hanya dalam bentuk iklan “Cintailah Produk dalam Negeri”. Setelah itu tidak ada kebijakan yang melindungi produk dalam negeri, yang ada adalah propaganda para pejabat dengan masuknya produk Cina dengan alasan agar terjadi persaingan yang “sehat”. Pada saat yang sama, pengusaha lokal kesulitan mendapatkan suntikan modal yang lunak.

Di hari pendidikan, kita dihidangkan tayangan menyedihkan berupa bunuh diri anak-anak sekolah yang gagal lulus UN (ujian nasional). Pada saat yang sama menteri pendidikan bersikukuh untuk menetapkan UN sebagai persyaratan kelulusan sekolah. Pola kebijakan pendidikan yang tidak mendidik dan tidak empatik. Kebijakan kewajiban UN terlalu dipaksakan. Siswa yang lulus UN pun tidak dijamin bisa diterima di perguruan tinggi. Bila kelulusan UN adalah syarat masuk Universitas maka hal ini tidak jadi soal. Sebab bagi mereka yang mampu untuk melanjutkan dipersilakan untuk ikut UN. Tapi bagi mereka yang mencukupkan kewajiban pendidikan hanya 12 tahun, maka siswa tidak perlu ikut UN. Sehingga akan mengurangi “korban pendidikan” yang seharusnya pendidikan tidak menghasilkan korban.

Di hari kebangkitan nasional, kita berharap masyarakat Indonesia masih memiliki harapan akan Indonesia yang lebih baik. Sebab, hari kebangkitan nasional ini diambil dari momentum berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang dihimpun kaum muda cendekia pada tahun 1908 dengan spirit kemerdekaan nasional. Dimaknai sebagai hari jadi kebangkitan nasional adalah karena perjuangan kemerdekaan Indonesia mulai terorganisi. Dampak kuatnya adalah masa perjuangan 300 tahun dapat diringkas menjadi 50 tahun perjuangan kemerdekaan. Di sinilah semangat kemerdekaan terpatri.

Namun sayang setelah 65 tahun Indonesia merdeka, seorang supir taksi mengeluh kepada saya, “Mas, Indonesia kini bukan Tanah Air Beta lagi. Tapi sudah milik orang lain.” Di atas tanahnya dikuasai Cina mulai dari pasar modern yang menggeser pasar tradisional hingga pembalakan hutan dan kebun sawitnya. Di bawah tanahnya dikuasai oleh Amerika Serikat, mulai dari tambang emas, mineral, energi, dan lain-lain. Di bawah lautnya dikuasai oleh Australia, mulai dari biota lautnya hingga keragaman flora fauna yang selalu dipantaunya. Belum lagi potensi ikannya yang dijarah oleh Filipina, Vietnam, Cina, dan lain-lain.

Kebangkitan Nasional harus diawali dari budi utama (akhlakul karimah), bukan semata budi pekerti (adab sopan santun). Krisis hebat yang tengah melanda negeri kita sesungguhnya adalah krisis akhlak. Akar akhlak adalah karakter. Seliberalnya AS, masih punya karakter bertanggung jawab terhadap pengangguran di negerinya dengan diberi tunjangan bulanan. Indonesia yang secara sistemik menganut mazhab Amerika, pengangguran, fakir dan miskin tetap dipelihara Negara tanpa pemeliharaan, rumahnya digusur, buruhnya terancam kehilangan sumber penghasilan, dan pedagang asongannya “ditertibkan” Satpol PP.

Di hari reformasi nasional, pada tahun 1998 pergerakan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) intensif melakukan aksi turun ke jalan menggagas Enam Visi Reformasi yang salah satunya adalah penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi. Tapi tampaknya masih jauh panggang dari api. Negara kita baru berhasil membuat fakultas hukum, tapi belum berhasil menegakkan fakultas keadilan. Ketika rakyat bersalah hukum begitu cepat ditegakkan. Dengan alas an bila tidak ditegakkan maka langit akan runtuh. Tapi ketika penguasa terindikasi korupsi yang tidak tanggung-tanggung, politik kartel pun segera dibentuk dalam rangka perlindungan orang-orang kaya yang turut berjasa dalam menyukseskan kekuasaan. Aparat penegak hukum terancam hilang perlindungan bila mengungkap kasus yang ada kaitannya dengan kekuasaan.

Mungkin dalam tulisan ini banyak ditemui kata tapi. Memang begitulah keadaannya: Paradoks. Refleksi ini menyadarkan bahwa seharusnya setelah 10 tahun reformasi, situasi Indonesia semakin membaik dan kompetitif di kancah global. Tidak ada orang yang betah berlama-lama dalam situasi yang serba tidak adil, diskriminatif, keberpihakan asing yang kuat, dan kehilangan jati diri sebagai bangsa yang besar. Kapankah situasi paradox ini akan berakhir? Jangan tanyakan pada rumput yang bergoyang.