TASBIH PERSAHABATAN

Malam kian larut, titik-titik air hujan terdengar seperti irama musik yang mengalun syahdu. Semilir angin bertiup perlahan memasuki celah-celah disetiap sudut ruangan berukuran 3x3 m persegi milik Zahrah. Gadis hitam manis tersebut bangkit dari duduknya yang telah panjang. Pandangannya sekilas beralih kearah dinding menangkap jam yang sejak tadi berdetak mengisi kekosongan kamar itu. Za demikian ia akrap disapa, menarik nafas panjang yang sangat dalam. Dia kemudian menutup laptopnya dan memutuskan untuk segera tidur. Za merebahakan tubuhnya di kasur yang memang tidak empuk, sewajarnya anak-anak kos-an lainnya. Butiran-butiran kecil dari matanya mulai menetes teratur. Za sengaja tak mengusapnya ataupun menghapusnya.

Sudah dua minggu ini zahrah mendapatkan kebiasaan barunya itu. Menangis sebelum tidur dan tak pernah bisa berusaha untuk menghentikannya hingga ia terlelap dengan sendirinya. Pikirannya melayang jauh. Za tak pernah bisa melupakan dan menghapus bayang-bayang Khumairah, sahabat sekaligus saudara dekat baginya. Ia memutar kembali kenangan masa lalunya bersama Khumairah.

***

Masih teringat jelas sore itu ketika Ira selayaknya gadis itu disapa bertandang ke kontrakan dimana Zahra tinggal. Sikap Ira tak seperti biasanya, tak ada sepatah kata yang terucap, tak jua ada senyum yang menghias bibirnya. Za merasa canggung mendapati sikap sahabatnya yang aneh itu. Didekatinya Ira lalu menyentuh bahu nya. “ada apa Ra? sikap mu tak seperti biasanya, terlalu asing kah aku sehingga tak bisa untuk kau ajak berbagi?”. Ira tercengang sesaat, kemudian wajah sendu itu mengukir sebuah senyum yang kelihatan manis sekali kendati terlihat seperti dipaksakan. Za tak berputus asa dan kembali mendesak sahabatnya. “alangkah sayangnya wajah yang indah ini jika tiada senyum yang ikhlas darinya.” Mendengar ucapan itu Ira tersenyum kembali dan kali ini bukan dengan senyum yang dibuat-buat. Ia merebahkan tubuhnya dilantai dan memulai ucapannya dengan sebuah pertanyaan. “Apakah yang akan kamu lakukan jika ada seseorang lelaki yang menyatakan cintanya pada mu, sementara pada saat itu kamu sudah terlanjur memberikan harapan pada lelaki lain, Za?” Zahara tercengang sesaat lalu balik bertanya, “Siapakah orang itu Ra?” Khumairah tak menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan Zahara padanya lalu bersikap seperti semula, diam dan murung. “ Baiklah Ra… lalu apakah kamu juga mencintai lelaki itu?” lanjut Zahara berusaha untuk mencairkan suasana yang dingin sembari menitikkan pandangannya pada wajah Ira dengan harap-harap cemas. Ira membalas tatapan wajah manis itu, lalu menganggukkan kepalanya.

Pembicaraan dua sahabat itu terhenti oleh azan yang berkumandang menandakan bahwa waktu magrib telah tiba. Setelah menyelesaikan solat magrib, Zahara bergegas memprsiapkan dirinya untuk berangkat mengajar. Gadis hitam manis ini adalah seorang guru pada suatu lembaga kursus yang mengajarkan pendidikan bahasa Inggris. Meskipun pembicaraannya dengan Khumairah tidak selesai, namun ia dapat menangkap semua permasalahan yang dihadapi saudaranyi tersebut.

Sehari berlalu sejak diskusi di kamar kontrakan kemarin. Ira masih bertahan dengan sikap berdiam dirinya. Zahara tak tahan melihat sahabatnya seperti itu. Setelah mata kuliah berakhir, ia memberanikan diri untuk menyambung pembicaraannya dengan Khumairah yang sempat tertunda kemarin. “Ra… kenapa tidak kau ikuti saja kata hatimu? Mengapa harus kau pilih untuk terus mempertahankan Farhan semetara hatimu terpaut pada lelaki lain? Bukankah it sama saja dengan menganiaya dirimu sendri Ra…?” tiba-tiba Zahara melontarkan pertanyaan yang sekaligus sebagai nasehat kepada Ira. Sang gadis rupawan itupun terperanjat lalu menengadah ke arah Zahara yang sudah berdiri dihapannya. Ira meraih tangan zahara yang dingin dan memintanya untuk duduk. “Aku mengerti tentang itu Za, tetapi alangkah jahatnya aku jika harus menyakiti Farhan, aku tidak bisa bersiakap seperti itu Za…” Khumairah menarik nafas dalam dan berusaha melanjutkan kata-katanya. “Tidak mudah bagiku untuk menarik kata-kata yang telah terlanjur terucap dan menerima Azam secepat ini, harus ada alasan yang jelas untuk aku melakukan ini semua, dan aku belum menemukan alasan tersebut Za.” Demikianlah penjelasan singkat Khumairah pada Zahara.

Zahara tak pernah bisa berhenti memikirkan Khumairah dan Farhan yang juga sahabatnya, kemudian kini ia juga harus memikirkan tentang Azam. Azam memang penuh pesona dan karisma, dan ia telah berhasil membuat hati khumairah terpaut, pikirnya dalam hati. Farhan adalah lelaki yang baik, lemah lembut dan selama ini selalu ada buat Khumairah disaat ia membutuhkan, namun Khumairah tak pernah bisa membalas semua itu dengan tulus dan juga tidak bisa menolak Farhan begitu saja. Semua keluarga Khumairah telah mengenal Farhan dengan baik dan sebaliknya. Tetapi juga sangat tidak mudah bagi Khumairah untuk mengabaikan Azam atau membunuh rasa cinta yang sudah hampir dua tahun ini ia pendam dalam hatinya. Setiap kali terjadi persoalan dan kesulitan, Farhan lah yang selalu ada untuk Khumairah. Hal ini lah yang membuat nya merasa sangat berhutang budi pada Farhan. Zahara tahu benar bahwa sahabatnya selama ini sangat tersiksa menerima semua kebaikan yang diberikan oleh Farhan. Kenapa harus Fahran? Kenapa bukan Azam? Kenapa Khumairah memendam perasaannya selama ini? Mengapa baru sekarang Azam mengutarakan perasaanya pada Khumairah? Mengapa semuanya terjadi disaat yang salah? Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam fikiran Zahara. “Aku harus mendesak Khumairah untuk menjatuhkan sebuah pilihan, Khumairah harus bicara pada Azam dan juga Farhan.” Desaknya dalam hati. Zahrah merogoh saku tas nya dan mengeluarkan Nokia 6230 miliknya. Diketiknya beberapa bait sms untuk Khumairah.

***

Keesokan harinya ketika dua sahabat ini bertemu di ruang perkuliahan, Zahara tampak bingung melihat aura wajah Khumairah yang berseri-seri. Senyum indahnya merekah dibalik jilbab merah muda yang menutupi kepala hingga dadanya. Gadis bertubuh mungil itu menghapiri Zahara dan meraih tangan sahabatnya seraya memberikan sebuah salam persaudaraan seperti biasanya apabila mereka bertemu. Zahara masih tercenganng dan asyik dalam kebingungannya. Khumairah menyadari sikap sahabatnya itu dan membuka sebuah pembicaraan. “Za… aku telah melakukan Istikharah seperti yang kamu sarankan melalui sms, dan aku telah membuat suatu keputusan.” Zahara menatap Khumairah penasaran. “Aku akan menghentikan semua kedustaan ini, aku tidak bisa terus membohongi perasaanku pada Farhan. Aku menginginkan Azam untuk menjadi imam bagi ku. aku yakin Azam lah cinta ku yang telah diutus Sang Rahman. Aku akan bicara pada Farhan tentang ini semua sebelum Farhan dan keluarganya datang Menghitbah ku.” Zahara tak berkata apapun dan masih bingung dengan ketegasan kata-kata yang dilontarkan Khumairah. “Za… aku tidak tahu dari mana keberanian ini bermula. Tapi sebagai seorang sahabat dan saudari yang paling dekat denganku, tentunya tak perlu lagi untuk ku jelaskan semuanya padamu. Dan untuk apa yang akan aku lakukan nantinya, dukungannmu sangatlah aku harapkan.” Zahara tersenyum dan memegang erat tangan Khumairah seraya berkata “InsyaAllah… selalu ada aku apabila semua orang meninggalkanmu, aku berharap Farhan akan menerima semuanya dengan ikhlas.” Selang beberapa menit kemudian perkuliahan dimulai. Khumairah dan Zahara tampak sangat bersemangat dengan semua materi yang diberikan oleh Bu Hafizah sore itu.

Hari sudah menunjukkan pukul 5 sore, perkuliahan sore itu diakhiri dengan pemberian sebuah tugas makalah. Hari tampak sedikit lebih gelap dari biasanya, titisan-titisan halus dari langit mulai mengalir. Khumairah dan Zahara tamapk gugup berjalan melewati koridor kampus, lalu menaiki sebuah sepeda motor yang sejak tadi tertidur di parkiran kampus. Mereka menuju ke sebuah restoran kecil di simpang jalan yang letaknya tidak jauh dari kampus. Tampak Farhan sedang duduk pada deretan bangku paling pojok. Rupanya mereka sudah berjanji untuk bertemu disini. Ira mengambil tempat duduk dihadapan Farhan dan menggeserkan kursinya sedikit kearah samping agar pandangan mereka tidak langsung berhadapan. Sedangkan Zahara mengambil duduk dideretan bangku yang lain. Zahara harus memberikan privasi agar Farhan dan Khumairah dapat leluasa berbicara.

Farhan tampak penasaran dan sesekali mendaratkan pandangannya ke arah Khumairah, namun pandangan itu tidak berbalas. Seorang pelayan datang menghampiri mereka lalu meletakkan segelas Apple juice dan avocado juice dimeja mereka. Azam memang sudah memesannya sebelum Khumirah tiba disana. Khumairah tampak sedikit gugup namun tetap berusaha untuk tersenyum. “ada apa ukhti…?” Tanya Farhan karena sudah mulai jenuh dengan keheningan di restoran itu. “afwan akhi… ada beberapa hal yang harus ana sampaikan kepada antum.” Jawab Khumairah dengan suara yang sedikit serak dan tertahan. Sesaat mereka terlibat sebuah kebisuan. Khumairah meraih gelas Juice dihadapannya lalu menyedot sedikit dari isi gelas itu. “ada apa ukhti…? Sampaikanlah apa yang ingin disampaikan.” Desak Farhan lagi karena merasa aneh dngan sikap Khumairah. Gadis pemelu itu masih tetap dalam kebisuannya. “ukhti… silahkan katakana apa yang ingin ukhti sampaikan, walaupun pahit kabar itu, insyaAllah ana akan menerimanya.” Ira menundukkan kepalanya dan menarik nafas dengan dalam. “afwan akhi… sebenarnya ada seseorang yang telah menggoda hati ana selama ini.” Sejenak perkataan itu terhenti namun Ira berusaha melanjutkannya. “ana telah menaruh perasaan pada seorang ikwan yang juga merupakan kakak tingkat kita dikampus. Dia juga seorang yang dekat dengan antum, dia adalah senior dalam organisasi yang antum ikuti. Ana telah lama menaruh hati padanya, namun perasaan itu ana tutupi karena tidak mungkin untuk ana perlihatakan. Dan baru-baru ini ana mengetahui bahwa dia juga mempunyai perasaan yang sama seperti ana. Itulah yang mengusik pikiran ana akh…” akhirnya Khumairah berhasil mengungkapkan semuanya.

Wajah Farhan kelihatan sedikit memerah. Matanya berkaca-kaca dan tampak seperti menahan amarah. Khumairah tak berani memandang Farhan sedikitpun. Meskipun hatinya menjerit dan merasa serba salah, gadis berbibir tipis ini berusaha untuk tetap tegar dan menahan air matanya untuk tidak jatuh. Khumairah tak ingin menampakkan kelemahannya pada Farhan. “lalu bagaimana perasaan ukhti terhadap ana selama ini?” Tanya Azam ragu-ragu. “Wallahi, ana sayang dan tidak mau menyakiti antum, tapi rasa sayang yang ana miliki tidaklah bernilai lebih.” Farhan tersenyum pahit dan kembali berkata “kalau begitu… apa yang ukhti pikirkan lagi? Jangan dipikirkan tentang keluarga kita yang sudah terlanjur menaruh harapan mereka, karena yang menjalankan ini semua adalah kita sendiri. Lagi pula bukannkah kita belum terikat pada apapun. Ana tulus mencintai antum, dan ana menginginkan yang terbaik untuk kita semua walaupun sejujurnya ana kecewa karena antum telah berbohong selama ini.” Khumairah menangis di dalam hati. Pembicaraan dua insan ini berakhir dengan keheningan dan kebisuan masing-masing.

Waktu berlalu kian cepat, Ira tak lagi bersarung dalam kemurungannya. Farhan memilih untuk menjauhi dan mengurangi komunikasinya dengan Ira sejak percakapan mereka di restoran kemarin. Keterikatan hati Ira pada Azam semakin kuat adanya, akar cintanya telah menjalar ke seluruh sanubarinya. Saat ini Azam lah yang ia cintai setelah cinta nya pada Yang Maha mencintai, sesudah cinta terbesarnya pada Sang ibu yang melahirkannya. Tiada dendam yang terlihat dari wajah dan sikap Farhan terhadap Khumairah maupun Azam. Zahara sangat menikmati pemandangan yang demikian itu. Akan tetapi, semulus-mulusnya jalan pasti adanya durinya, dan itulah yang terjadi pada hubungan Khumairah dan Azam. Meski tak ditampakkan dengan jelas, namun dapat dirasakan bahwa hubungan mereka ternyata tak disetujui oleh ibunda khumairah yang memang telah lama berharap pada Farhan. Meski berlebihan tetapi bu Siti punya alasannya sendiri sehingga belum bisa menerima Azam dihatinya. Hati Zahara terasa ditusuk-tusuk dengan jarum yang tumpul, air matanya semakin deras mengalir dan mulai membasahi bantal. Zahara menarik nafas dalam-dalam untuk yang kesekian kalinya. “Khumairah… Khumairah…” tiba-tiba nama itu terlontar dari bibir kakunya dalam bentuk ratapan. Zahara menyesali semua yang terjadi dan mengutuk dirinya sendri. Menyumpahi orang-orang yang selama ini tak pernah menyadari telah menyakiti Khumairah. Dia yang begitu peduli terhadap orang lain, baik itu keluarganya maupun teman-temannya. Khumairah lebih mengutamakan orang lain dari pada dirinya sendiri. Khumairah yang malang.

Hik….hik…hik…., Zahara tak kuasa menahan suara tangisnya sehingga isaknya terdengar oleh Iffah teman sekamarnya. “Kamu kenapa Za…?” Tanya Iffah lembut seraya mengusap kepala Zahrah. Seketika itu Zahara langsung terdiam dan memilih untuk keluar kamar sembari mengusap air matanya di toilet. Tak kuasa menahan rasa yang tak karuan dalam hatinya, Za pun kembali meneteskan air matanya untuk Khumairah sahabatnya.

***

Zahara teringat pada peristiwa Malam itu, pukul 01.27 dini hari Zahara mendapat panggilan penting melalui telepon genggamnya. Panggilan itu berasal dari sebuah nomor simpati milik Khumairah. Sejak saat itu hidupnya berubah, sejak saat itu pula ia tak lagi bisa melihat senyum pahit dari bibir Khumairah, tiada lagi kisah cinta antara Azam dan Khumairah. Semua hal yang berhubungan dengan Khumairah telah selesai. Malam itu tepatnya Jum’at pukul 02.17 dini hari adalah merupakan saat terakhir ia melihat Khumairah bernafas, tubuhnya lemas dan terbaring tak berdaya. Selang-selang kecil yang menyemaraki kondisi khumairah sepertinya tak lagi berguna. Saat itu pula Ira menghembuskan nafas terakhirnya. Za menggigit bibirnya menahan perih hati yang mungkin akan selalu membayangi tidurnya. Saat terakhir Khumairah yang tidak bisa Zahara mendampinginya. Za sangat merasa menjadi orang yang mengecewakan karena tidak sempat mengucapkan sepatah katapun sedetik saja sebelum Khumairah melanjutkan istirahat panjangnya. Saat mata mereka tak bisa saling berpandangan lagi, saat tak lagi dapat disapunya air mata yang biasa membasahi pipi Khumairah yang merah jambu.

“Ra…….” jerit Zahrah dalam hati kecilnya yang tak terkeluar lewat lisannya. “Betapa tidak adilnya dunia ini pada mu. Oh… Ra… betapa jahatnya kami karena tak bisa memahami perasaanmu. Ternyata begitu sedikit dan kecilnya rasa sayang yang kami punya untukmu, sehingga Yang Rahman Mengambilmu dari kami. Mengapa aku tak pernah bias merasakan betapa sakit dan tersisaknya kamu menahan Kanker yang mengerogoti seluruh sel hatimu? Kenapa penderitaan itu harus kamu pendam sendirian Ra…?” Za beranjak dari toilet dan kembali ke kamarnya. Diraihnya beberapa buah buku yang merupakan catatan-catatan harian milik Ira dan beberapa buah buku yang berisikan catatan-catatan pesan singkat yang tak lagi bisa tersimpan di telpon genggam nya. Sesaat Za tersenyum kemudian menangis kembali. “Betapa bodohnya kami selama ini karena tak mengerti akan semua ini.” Lirihnya pedih. Dibacanya semua isi pesan singkat (sms) dari Azam yang tertulis rapi pada sebuah buku berwarna biru muda. Zahara kembali menjerit dalam hatinya, amarahnya mulai terlihat jelas, kekecewaanya pada Azam pun tumbuh begitu saja. Azam adalah laki-laki pengecut yang tak berani memperjuangkan cintanya sendiri. Azam telah membiarkan Khumairah melewati semuanya sendiri. Khumairah benar-benar sendiri disaat-saat terakhirnya.

Setelah selesai membaca semuanya, Za kemudian membuka sebuah kotak persegi panjang yang memang dititipkan Ira pada Bu Siti, ibunda nya. Dengan hati-hati dan menahan isaknya, Za membuka perlahan kotak itu dan diraihnya sebuah tasbih mutiara beserta sepucuk surat.

Assalamu’alaikum,

Zahara saudariku yang tercinta… afwan jidan untuk semua kesalahan yang pernah tertuang pada kata, pada sikap, pada canda, pada tawa, pada tangis maupun diamku. Aku tahu bahwa terlalu singkat pertemuan kita di sini, dikehidupan yang memang tidak abadi bagi kita. Ku tulis surat ini sebagai pesan terakhir sekaligus penguat hati semua orang yang telah ku tinggalkan. Ku harap tiada aeorangpun yang dipersalahkan maupun dibenarkan. Semua yang terjadi adalah kehendak NYA, dan memang sudah tergaris di tapak tangannku. Sampaikan pada mereka betapa aku sangat menyayangi dan menginginkan yang terbaik untuk semua. Percayalah bahwa inilah yang terbaik untuk ku. Sampaikan pada seseorang yang telah menggoda jiwa ku bahwa cinta ku tidak kutinggalkan dan harus kubawa bersama ku. Ceritakan pada seseorang yang hatinya telah kusakiti bahwa keberadaannya sangat berarti selama ini. Hapuslah air mata yang menetes dipipimu wahai saudariku yang terkasih. Jadikan ia sebagai zikir dan do’a yang senantiasa terkirim untuk ku. Kuatkan hati dan percayalah tak ada yang salah dengan semua keadaan ini. Ketahuilah bahwa rasa sakit yang kurasa selama ini adalah sebuah ibadahku padaNya dan kanker hati yang ku derita adalah suatu anugrah yang telah aku syukuri. Selamat tinggal dan sampai bertemu di kehidupan yang lebih kekal, insya Allah.

Wassalam,

Saudarimu

Khumairah Alhusna Safitri

Zahara menghentikan tangisnya dan beristigfar dalam hati. “Ya Allah ampuni hambamu yang tak tahu diri ini, betapa besar kasihMu pada kami, tunjukkan kebaikan yang selama ini tersembunyi agar dapat kami pahami semua ini. Selamat jalan Ra… selamat tidur dalam kedamaian… terima kasih untuk semua yang belum sempat ku berterimakasih padamu.” Zahara menutup semua buku dan menuju kebelakang. Dibasuhnya wajah dan hatinya dengan air wudhu. Dibacanya ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan penuh ketenangan. Itulah bentuk ke ikhlasan nya atas kepergian Khumairah. Namun sampai kapanpun cerita tentang Khumairah tak akan pernah hilang seperti jasad nya yang telah terkubur dimakan cacing tanah. Ia akan tetap hidup dalam hati setiap orang yang mengenalnya. Ia akan tetap hidup dalam setiap gerak yang dilakukan Zahara. Ia akan tetap hidup dalam harapan Farhan yang tak kesampaian. Dan akan kekal dalam penyesalan Azam yang berkepanjangan.

------ Sekian -----