Tarbiyah Islamiyah telah melewati usia 20 tahunnya. Fenomena yang berawal dari sekolah-sekolah dan kampus ini, terus berkembang menjadi arus besar yang ikut menentukan gerak perubahan di negeri ini. Ketika terjadi transisi kekuasaan tiga tahun lalu, kekuatan tarbiyah mentransformasikan dirinya ke dalam Hizbud-Da’wah. Di panggung politik yang terbuka dan kompetitif, masyarakat bisa menyaksikan buah-buah tarbiyah yang direpresentasikan para kader-kadernya.

Beragam respon muncul; mulai dari kekaguman dan harapan-harapan besar yang digantungkan kepadanya hingga kecemasan yang menggiring rasa ingin tahu banyak pihak untuk lebih mengenali apa, siapa dan bagaimana Hizbud-Da’wah yang lahir dari rahim tarbiyah ini? Kini, di mihwar muassasi, akankah tarbiyah tetap menjadi semangat zaman sebagaimana di dua fase perjalanan dakwah sebelumnya?

Penerimaan Umat terhadap Tarbiyah

Ada hal yang menggembirakan hati kita ketika bicara soal tarbiyah. Yaitu meluas dan berkembangnya respon positif masyarakat terhadap aktifitas tarbiyah dan produk manusia muslim yang dilahirkannya. Hal ini bisa diukur dari meluasnya penerimaan berbagai segmen masyarakat muslim terhadap aktifitas tarbiyah. Halaqah dan ta’lim yang semula marak di sekolah dan kampus, kini mulai bermunculan di perkantoran, pabrik-pabrik, masjid, organisasi dan berbagai perkumpulan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Ukuran lainnya, meningkatnya harapan masyarakat terhadap peran-peran perubahan yang bisa dilakukan kader-kader tarbiyah di berbagai bidang kehidupan.

Bentuk penerimaan dan harapan ini, sepertinya telah melampaui berbagai kecurigaan, keterasingan dan ketakutan yang pernah hinggap di ruang pikiran dan perasaan masyarakat terhadap para aktifis tarbiyah. Sesuatu yang kita temukan pada sepuluh atau bahkan dua puluh tahun lalu. Banyak sekolah, kampus, masjid dan kantor-kantor telah menjadikan tarbiyah sebagai program resmi mereka. Tentu saja dalam berbagai kemasan dan bentuk yang berbeda-beda. Kalau dulu, para aktifis mendatangi orang per-orang untuk menawarkan tarbiyah, sekarang masyarakat seakan antri menunggu para aktifis yang mau mentarbiyah mereka.

Hal menggembirakan ini tentu saja patut kita syukuri. Kebahagiaan seorang da’i adalah ketika menemukan masyarakat menerima seruannya, dan mengikuti jalan Islam dalam kehidupannya. Syukur kita kepada Allah SWT menunjukkan keikhlasan amal yang akan terus melahirkan kekuatan motivasi untuk berkembang. Dan keikhlasan, pada akhirnya akan menjadi kunci terbukanya pintu ridha dan pertolongan dari Allah SWT. Rasa syukur pun harus kita berikan ketika kader-kader tarbiyah ini mendapatkan penerimaan dan penghargaan yang baik di tengah masyarakat, karena kebaikan Islamnya. Termasuk, ketika penerimaan dan penghargaan masyarakat itu berbentuk hal-hal materiil. Sesuatu yang pada gilirannya akan memperkaya sarana-sarana kekuatan da’wah untuk mengembangkan aktifitas tarbiyahnya.

Rasa syukur kita kali ini, tentu saja bagian dari mata-rantai sikap syukur yang tak henti-hentinya sejak da’wah ini memulai nasy’ah (Pembentukan)-nya. Pada awal mihwar tanzhimi, kebersamaan kita dalam tarbiyah dan da’wah dirasakan seperti hidayah dan ni’mat Allah yang membawa kita keluar dari kelamnya kegelapan jahiliyah menuju ruang baru Islam yang terang-benderang. Ada semangat kuat untuk membedakan diri. Dan keterasingan menjadi sebuah keberuntungan dalam benak dan perasaan para kader tarbiyah.

Ruang perbedaan dan keterasingan antara kader tarbiyah dan masyarakat pada masa itu, harus dibayar dengan pengorbanan. Sekian puluh atau ratus akhwat muslimah dikeluarkan dari sekolah atau kampus, lantaran jilbab panjangnya. Sederetan anak muda tidak lagi menjadi anak kesayangan mami dan papi, lantaran fikrah baru Islam yang diyakininya. Berjilid-jilid kisah semacam ini bisa kita himpun dari para saksi da’wah yang masih istiqamah di jalan-Nya.

Salah satu nasyid yang dihafal adalah “Ghuraba” atau “Orang-orang yang Asing”. Dan salah satu hadits yang sangat dihafal dengan fasih adalah:

“Islam pertama kali datang asing, dan akan kembali menjadi asing. Maka beruntunglah orang-orang yang asing. Yaitu mereka yang memperbaiki sunnahku setelah manusia merusaknya.”

Kebenaran tidak akan pernah bisa dipadamkan, sekalipun pengikutnya ditekan atau bahkan dimusnahkan.

Demikianlah, deretan dan kumpulan “orang-orang asing” justru semakin banyak. Sejak pertengahan tahun 70-an, para pendekar pembaharuan Islam meneriakkan desakralisasi dan desimbolisasi Islam. Mereka menyerang jilbab dan jenggot, misalnya. Arus besar yang muncul, justru parade akhwat muslimah berjilbab dan kumpulan pemuda berjenggot. Kalimat salam menjadi nada merdu yang menghiasi bis-bis kota, jalan-jalan, koridor sekolah, gerbang kampus dan rumah-rumah kontrakan dimana dua aktifis tarbiyah atau lebih bertemu satu-sama lain. Arus yang tidak bisa dibendung dan bahkan menghempaskan berbagai buih kampanye sekulerisasi Islam ke tepian pantai. Villa-villa mewah di kawasan wisata pegunungan dan ruang-ruang tamu beralas tikar tanpa sofa berukuran 3×3 meter, menjadi saksi hidup bagaimana riak-riak ombak itu digerakkan dan lalu menghimpun dirinya menjadi arus besar yang sangat dahsyat.

Nafas syukur semakin menguat, ketika da’wah meluaskan langkahnya ke dalam mihwar sya’bi. Ada misi besar yang diamanatkan da’wah kepada para kader tarbiyah sekitar tujuh tahun lalu. Yaitu mendatangi sanak-keluarga, kerabat, handai-taulan dan masyarakat luas untuk mendengar dan menerima seruan da’wah Islam. Doktrin yang ditanamkan ikut berkembang. “Anda istimewa” dan bukan “Anda berbeda”. Allah SWT – melalui da’wah ini – telah menganugerahkan keistimewaan aqidah, fikrah dan manhaj kepada para kadernya. Misi besar dalam mihwar sya’bi adalah menebarkan keistimewaan Islam itu kepada masyarakat seluas-luasnya. Kader tarbiyah bukan lagi Ashabul-Kahfi yang sedang ditidurkan Allah di dalam gua, tetapi mereka yang keluar dari gua untuk menemui masyarakat yang lama ditinggalkannya.

“Dan demikianlah, Kami mempertemukan manusia dengan mereka, agar manusia itu mengetahui bahwa janji Allah itu benar…” (Al-Kahfi:21)

Ada begitu banyak campuran rasa menghiasi dada setiap kader tarbiyah saat itu. Perasaan ragu, waspada, sungkan sampai rasa bahasa yang berbeda. Tetapi, alhamdulillah, Allah SWT menunjukkan keistimewaan Islam yang mereka miliki. Masyarakat ta’jub dan dengan sangat lahap mengkonsumsi berbagai kebaikan yang dimiliki para kader tarbiyah. Menjawab respon yang luar biasa, para kader da’wah pun lebih mengorganisir amalnya melalui berbagai wajihat dan muassasat. Ada yang bergerak di bidang pendidikan, pelayanan da’wah, sosial dan ekonomi. Kredibilitas lembaga akhirnya ikut mendongkrak kredibilitas personilnya. Sejumlah kader da’wah mulai dikenal sebagai public figure.

Prestasi dan gelar akademik yang mulai diperhatikan kembali, ikut mengakselerasi dan mengeskalasi posisi publik kader-kader da’wah di tengah masyarakatnya.

Tarbiyah sebagai Semangat Zaman

Demikianlah, dua fase awal da’wah – mihwar tanzhimi dan mihwar sya’bi – dilalui dengan semangat zaman untuk mentarbiyah umat. Daurah-daurah rekrutmen yang dilakukan hampir di setiap akhir pekan, menjadi sarana efektif untuk membangkitkan kesadaran umat dan membalikkan orientasi hidup mereka. Halaqah ammah dan halaqah khashshah menghiasi malam-malam dan siang, di mana ribuan spidol whiteboard menuliskan kalimat-kalimat Islam setiap harinya. Sebuah irama yang terus bergema tak pernah henti. Persis ungkapan nabi Nuh as:

“Ya Rabbi, sesungguhnya aku telah mendakwahi kaumku malam dan siang.” (Nuh: 5).

Saat-saat liqa’ tarbawi merupakan yang paling dirindukan. Rasa haus akan ilmu, kerinduan bertemu sesama ikhwah atau sesama akhwat, berbagi masalah dan pengalaman dengan sang murabbi atau murabbiyah, dan pulang kembali ke rumah dengan dada yang penuh dengan keindahan iman dan kesempurnaan tawakal kepada Allah SWT. Enam hari berikutnya, adalah hari-hari da’wah dan tarbiyah. Sang mutarabbi pada sisa enam hari berikutnya menjelma sebagai murabbi dan da’i bagi umat. Ilmu dan pemahaman yang didapatkan dalam liqa tarbawi kemarin, telah menjadi tema berbagai liqa’at tarbawi pada keesokan harinya. Merekalah sosok-sosok Rabbaniyyun.

“Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani. Karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali Imran: 79).

Tidak ada keraguan sedikitpun untuk menyampaikan ilmu Islam kepada mad’uwin atau obyek da’wah. Meski usia mereka muda, bukan lulusan pesantren dan sebagian besar belum menguasai bahasa Arab, namun ada “izzah”, keyakinan dan kebanggaan akan fikrah Islam yang mereka milika. Ada “hamasah”, semangat menggelora untuk mengamalkan Islam dan menyerukannya kepada orang lain. Dan ada “ghirah”, kecemburuan dan semangat pembelaan terhadap Islam yang diabaikan oleh umatnya sendiri.

Inilah tiga unsur yang menghiasi militansi tarbiyah dan da’wah mereka pada tingkat individu. Izzah, hamasah dan ghirah Islamiyah. Ketiga hal ini tidak lahir kecuali dari mata air keimanan yang jernih, lautan pemahaman yang luas dan gelombang keikhlasan yang tidak pernah surut. Militansi individu semakin diperkokoh dengan semangat keterikatan (ruhul-irtibath) antar anggota dalam sebuah halaqah, semangat persaudaraan (ruhul-ukhuwah) yang terpancar dari cahaya wajah-wajah yang mudah saling mengenali, walaupun belum pernah berjumpa sebelumnya. Serta semangat kerjasama (ruh amal jama’i) untuk menopang berbagai tanggungjawab dan beban da’wah melalui semangat saling memberi dan berkorban (ruhul badzl wat tadh-hiyah). Semua ini menjadikan himpunan mereka sebagai bangunan yang kokoh dan saling menopang (al-bunyan al-marshush). Firman Allah:

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur rapi, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (As-Shaf: 4).

Rahasia Sukses Tarbiyah

Apa yang menjadi rahasia kesuksesan tarbiyah dalam melahirkan itu semua?

Yang pertama dan paling utama, adalah istiqamah.

Yang menghiasi jiwa para du’at dan kader tarbiyah dalam melewati putaran roda da’wah –yang harus mendaki bukit terjal (aqabah)– adalah

- istiqamah dalam hidayah,

- istiqamah dalam keikhlasan,

- istiqamah dalam keta’atan dan

- istiqamah dalam kesabaran.

Inilah hal terberat bagi setiap da’i dan bahkan nabi. Ayat yang membuat nabiyullah Muhammad SAW berubah rambutnya, adalah perintah untuk istiqamah.

“Maka istiqamahlah (kamu) sebagaimana yang Aku perintahkan…” (Hud: 112).

Dan inti dari istiqamah adalah kesabaran.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-Nya di pagi dan senja hari, dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28).

Dalam perjalanan panjang da’wah dan tarbiyah ini, istiqamah dibangun melalui tarbiyah imaniyah yang terus-menerus, baik secara jama’i maupun dzati (mandiri). Liqa’ tarbawi sangat dipenuhi dengan suasana ruhiyah dan peribadahan (munakh ruhi wa ta’abbudi), dan berbagai aktifitas jama’i untuk tarqiyah ma’nawiyah dan tazkiyatun-nafs dilakukan secara periodik dan konsisten. Kemudian, ditopang oleh suasana saling menasehati (munakh tanashi) dalam kebenaran (bil-haq), dalam kesabaran (bis-shabr) dan dalam kasih-sayang (bil-marhamah).

Rahasia sukses kedua adalah disiplin dalam tanggung-jawab (indhibath bil-mas’uliyah).

Pada masa-masa itu kita akan menemukan seorang ikhwah yang sangat menyesal dan memiliki rasa bersalah yang dalam, ketika datang terlambat ke halaqah. Atau ketika ia udzur, esok harinya ia sibuk mendatangi saudaranya yang lain hanya untuk menyalin materi yang diberikan. Juga begitu banyak para murabbi yang meninggalkan berbagai urusan pribadi dan keluarganya, karena ia harus mengisi halaqah yang secara rutin dilakukan.

“Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (At-taubah: 24).

Membolos bagi seorang murabbi, sepertinya melemparkan sebuah amanah sebesar gunung Uhud.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfal: 27).

Bila kita menemukan ada mutarabbi yang punya ongkos pas-pasan untuk hadir dalam halaqah, tidak sedikit kita temukan, murabbi yang harus pulang berjalan kaki – karena tidak tersisa lagi uang sesenpun. Bukan karena para mutarabbi tidak membantu, tetapi bahkan sang murabbi tidak pernah menampilkan wajah dirinya sedang mengalami kesulitan di hadapan para mutarabbinya.

“… orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena (mereka) memelihara diri dari meminta-minta…” (Al-Baqarah: 272)

Tanggungjawab yang berangkat dari kesadaran akan amanah da’wah ini, menjadi tradisi yang diwariskan para murabbi kepada mutarabbinya. Nyatanya, semakin mereka disiplin pada tanggungjawab da’wah dan tarbiyah, semakin Allah memudahkan semua urusan mereka. Dan bahkan, seringkali Allah menganugerahkan jalan keluar yang tidak disangka-sangka atas berbagai kesulitan yang dihadapi.

“Dan bersabarlah, karena Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Huud: 115)

Rahasia ketiga, adalah kemenyeluruhan dalam peran tarbiyah (at-takamuliyah fid-daur at-tarbawi).

Seorang murabbi atau murabbiyah –ketika mentarbiyah mutarabbinya– tidak hanya memerankan diri sebagai seorang guru atau muwajjih yang menyampaikan ilmu-ilmu Islam. Tetapi pada saat bersamaan, ia menjadi seorang syaikh dalam memelihara dan meningkatkan ruhiyah dan ma’nawiyah mutarabbinya. Ketika menghadapi masalah-masalah yang dialami sang mutarabbi, ia menjadi bapak atau ibu (walid) bagi mutarabbinya. Dengan penuh kasih-sayang dan kesabaran, ia membimbing sang anak untuk mampu menyelesaikan persoalan-persoalannya. Memuji keberhasilannya dan memotivasi untuk bangkit dari kegagalannya. Ketika berada di medan da’wah dan amal jama’i, ia berperan sebagai pemimpin (qaid) yang ikhlas, bijak dan juga tegas. Ia tahun kapan harus berdiskusi dan kapan harus instruksi. Ia buka ruang partisipasi dan syura untuk menghasilkan yang terbaik. Ia senantiasa mengambil keputusan setelah memohon taufik dan hidayah dari Allah SWT. Dan ketika ia sedang rihlah atau dalam suasana santai dengan para mutarabbinya, ia menjadi teman bicara dan bermain yang mengasikkan.

Kemenyeluruhan peran-peran tarbiyah inilah yang telah menghasilkan kader-kader terbaik dari kalangan as-sabiqunal awwalun dan juga generasi berikutnya. Dengan ini, setiap mad’u atau mutarabbi merasa nyaman dalam rumah tarbiyah mereka, memiliki semangat penerimaan (ruhul-istijabah) yang kuat terhadap segala arahan dan bimbingan dari sang murabbi tercinta. Sehingga, sebentar saja ada di rumah tarbiyah, mereka mengalami perubahan kepribadian yang cepat (qabil lit-taghyir) dan selanjutnya mereka keluar dari rumah tarbiyah sebagai penyeru perubahan (anashir taghyir).

Menyiapkan Anashir Taghyir

Adalah tadbir Rabbani yang penuh dengan hikmah Rabbaniyah, ketika tarbiyah ini menanam bibit-bibit awalnya di kalangan pelajar dan mahasiswa. Masyarakat muslim negeri ini sebagian besarnya adalah kaum ummiyyun, orang-orang yang jahlu ‘anil-Islam atau tidak memahami agamanya.

“Dan di antara mereka ada orang-orang ummiyyun, tidak memahami al-Kitab, kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (Al-Baqarah: 78).

Secara sosio-politis, gerak kehidupan mereka sangat ditentukan oleh elit-elit penguasanya. Mereka menggiring masyarakatnya kepada kejahiliyahan, sebagai sesuatu yang dipandang sebagai jalan kebaikan.

“Fir’aun berkata: Aku tidak mengemukakan kepadamu melainkan apa yang aku pandang baik. Dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.” (Al-Mu’min: 29)

Sehingga, baik-buruknya negeri ini dan gerak perubahan di masyarakatnya akan sangat ditentukan oleh para elit masyarakatnya. Ini merupakan fenomena zaman berbagai umat terdahulu dan menjadi bagian dari sunnah perubahan.

Para pemuda yang terdidik adalah calon-calon pemimpin di masa depan. Sehingga, secara historis, apa yang ditanam sejak awal oleh tarbiyah adalah menginvestasikan calon-calon pemimpin bagi proses perubahan besar di negeri ini. Mereka adalah kaum yang mewarisi sikap kritis nabi Ibrahim.

“Dan ingatlah di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar: Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (Al- An’am: 74).

Mereka juga kaum yang mewarisi keluasan ilmu dan sikap penjagaan diri yang dimiliki nabi Yusuf. Dan mereka juga tampil sebagai sosok-sosok Musa baru yang kuat, berani dan bisa dipercaya.

Perjalanan waktu, membawa mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat profesional yang bekerja di berbagai sektor pemerintahan, bisnis dan industri. Sebagian lagi tampil sebagai akademisi dan intelektual yang memberi warna baru bagi dunia pendidikan negeri ini. Kepedulian sosial mereka telah melahirkan berbagai wajihat dan muassasat yang bekerja bagi pelayanan umat dan berperan sebagai agen-agen perubahan sosial. Ketika mereka menikah, berkeluarga dan memiliki keturunan, mereka juga menjadi bagian penting dari masyarakat sosialnya. Kehadiran mereka bukan sekedar pelengkap, tetapi menjadi subyek penting bagi gerak-dinamika masyarakatnya. Banyak diantara mereka menjadi pengurus masjid, pengelola lembaga-lembaga pendidikan atau bahkan ada yang menjadi ketua RT/RW.

Calon-calon pemimpin masa depan negeri ini telah menyebar ke berbagai sendi umat, dan nyatanya mereka senantiasa menjadi rujukan (marja’) bagi masyarakatnya. Kredibilitas moral dan sosial yang dimiliki, telah membuka jalan bagi mereka untuk berperan sebagai pemimpin masyarakatnya (qiyadatul-mujtama’). Keberadaan mereka diberbagai segmen dan lini masyarakat inilah, yang menghasilkan berbagai manuver (munawarah) dan perluasan (tausi’ah) da’wah yang spektakuler. Tarbiyah –pada titik ini– telah menjalankan tugas pentingnya, melahirkan anashir taghyir yang akan melakukan misi qiyadatul-mujtama’.

Momentum dan Tugas Perubahan

Kini –atas izin Allah SWT– tarbiyah berada pada mihwar muassasi. Da’wah ini telah mentransformasikan dirinya sebagai Hizbud-Da’wah di tengah-tengah kancah perubahan pada masa transisi (ahdul-intiqal) yang diwarnai iklim keterbukaan dan kompetisi. Bagi para abnaa at-tarbiyah, terbentang sebuah lahan amal yang sangat luas dan menantang. Inilah lahan jihad yang dijanjikan Allah SWT, untuk membuktikan kebenaran iman dan janji kita. Di lahan luas ini, juga bertebaran para penyeru kebatilan yang bersemangat untuk menarik umat dari lubang kegelapan lama kepada lubang kegelapan yang baru. Kemenangan hanya akan diraih oleh orang-orang yang sungguh-sungguh beramal dan berjihad di jalan-Nya. Bila tidak, tunggulah saat kehancuran.

“Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfal: 73)

Apa sesungguhnya tugas besar yang ada di pundak abnaa at-tarbiyah sekarang ini? Ketahuilah, ada empat tugas besar dihadapan kita semua saat ini. Masa depan Islam di negeri ini ditentukan pada kemauan dan kemampuan kita merealisasikan keempatnya. Tidak ada tempat bagi orang yang ragu, dan tidak ada jalan bagi orang yang berlambat-lambat. Cukuplah sahabat Ka’ab bin Malik sebagai pelajaran berharga bagi kita!

1. Tugas kita yang pertama, terlibat sekuat tenaga untuk membebaskan umat dari belenggu kejahiliyahan dan kazhaliman politik. Momentum perubahan tidak akan berulang dua kali dalam waktu yang sama. Daud muda telah menemukan momentum terbaiknya ketika dengan tangan kecilnya mampu merobohkan raja Jalut dan menghancurkan seluruh sendi-sendi kekuatan dan kekuasaannya.

2. Tugas kedua, memenuhi arus negeri ini dengan solusi Islam, bukan saja pada tataran opini dan wacana, tetapi sampai tingkat praksis dan aplikasi. Hampir seluruh tatanan masyarakat dan bangsa ini telah mencapai usia rapuhnya atau bahkan telah mati. Umat membutuhkan sesuatu yang baru yang bisa menyelamatkan mereka. Pelajar SLTP yang mulai hobi tawuran butuh solusi konkrit. Pelajar SMU yang terjerat miras dan narkoba butuh solusi segera. Mahasiswa yang gandrung seks bebas butuh solusi jitu. Kaum pekerja yang lama tereksploitasi oleh kaum majikan butuh pembelaan dan pemberdayaan. Pelaku ekonomi kecil dan menengah yang terhimpit konglomerasi dan terinjak birokrasi butuh dukungan politik dan keadilan ekonomi. Rakyat kecil yang semakin menjerit karena harga yang melangit, rumah yang tergusur, pekerjaan yang hilang dan kriminalitas yang mengancam. Mereka membutuhkan orang-orang yang memihak dan membela mereka atas nama kebenaran dan keadilan. Organisasi-organisasi yang saling sikut dan gembos antar elit pemimpinnya, telah menyeret massa pendukungnya ke dalam arena tawuran massal. Mereka butuh ruh baru yang bisa menyatukan dan mendamaikan dirinya.
Jawaban atas semua ini sudah sampai pada tataran aksi, bukan lagi diskusi. Setiap kader da’wah dan tarbiyah adalah orang-orang cerdas yang mampu menggerakkan komunitas di sekelilingnya, untuk bersama-sama melakukan perubahan dan perbaikan. Jangan biarkan umat menanti terlalu lama, hingga akhirnya mereka dituntun oleh orang yang buta. Da’wah ini memiliki puluhan ribu kader dengan beragam ilmu, kemampuan, profesi dan sarana. Organisasi da’wah ini pun memiliki seperangkat lini-lini organisasi yang dipersiapkan untuk menjadi ujung-tombak perubahan di berbagai bidang.

“Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu. Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui.” (Az-Zumar: 39).

3. Tugas ketiga adalah mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk menerima Islam dan menjadi pendukung da’wah ini. Ingatlah, Rasulullah SAW akan bangga dengan umatnya yang banyak. Jalan demokrasi akan memberikan kekuasaan kepada mereka yang memiliki pendukung yang banyak, meskipun perubahan biasanya dilakukan hanya sekelompok kecil orang. Untuk ini, pekerjaan pertama kita adalah da’i. Pekerjaan kedua kita adalah murabbi, dan pekerjaan ketiga kita adalah pemimpin. Setiap waktu, kita seru manusia kepada Islam, kita tarbiyah mereka untuk menjadi sosok muslim sejati, lalu kita pimpin mereka untuk meraih kemenangan dan kebahagiaan. Setelah itu, kita tidak punya pekerjaan lain hingga Allah SWT membebaskan kita dari semua pekerjaan itu di surga kelak. Insya Allah!

4. Dan terakhir, tugas keempat kita adalah terus-menerus menyiapkan diri dan mengembangkan segala kemampuan yang dibutuhkan oleh da’wah. Tarbiyah adalah madrasah tempat kita membina diri. Bagi mereka yang menyadari dan memahami ini semua, sikap apa yang akan diberikan terhadap tarbiyah? Hanya satu jawaban, kokohkan kembali tarbiyah. Suatu umat tidak akan pernah bangkit untuk kedua kali, selama mereka tidak mampu memenuhi syarat-syarat yang dimiliki kebangkitannya yang pertama. Dalam kaidah da’wah kita; “Pemimpin tidak muncul, kecuali dilahirkan oleh tarbiyah”.

Sekali lagi, rahasia kesuksesan tarbiyah di mihwar tanzhimi dan mihwar sya’bi adalah: istiqamah, indhibath bil-mas’uliyah dan at-takamuliyah fid-daur at-tarbawi. Ketiga hal itu pula yang sangat dibutuhkan pada saat ini.

Semoga Allah SWT menunjuki kita dalam kebenaran dan dalam kesabaran. Amin.