Oleh : M. Redha Helmi

HUMAS LDK IZZATUL ISLAM STAI-MU TANJUNGPINANG

Terorisme, kita semua sudah tidak asing lagi dengan kata-kata terorisme karena saat ini berita tentang terorisme selalu tersiar dimedia cetak dan elektronik, dan sekarang bahkan menjadi agenda utama POLRI untuk pemberantasan teroris hingga ke akar-akarnya. Usaha memburu teroris terus dilakukan oleh POLRI dengan Densus 88 dan akhirnya beberapa waktu yang lalu berhasil membunuh Teroris N0.1 Nurdi M. Top, namun ternyata itu baru sebuah awal dari usaha pembasmian teroris, karena setelah itu Densus 88 kembali berhasil membunuh anggota jaringan teroris berikutnya yakni Syaifudin Zuhri dan Muh Syahrir. Mereka tewas dihantam oleh peluru CRT (Crisis Rsponse Team) Densus 88 Mabes POLRI. Namun pekerjaan Densus 88 Anti Teror Mabes POLRI belum usai karena dari sumber-sumber JPNN, baik dari kepolisian menyebutkan bahwa ancaman teroris masih sama sekali belum hilang. Kini kepolisian sedang memburu satu nama baru yang diduga kuat sebagai penerus teroris. Namanya adalah Jaja seorang aktivis NII dari kelompok Banten dan diduga kuat kenal dengan Rois tersangka Bom Marriott 2003. Serangkaian nama-nama baru akan terus muncul menjadi sel-sel teroris baru.

Kini teroris telah merambat didunia kampus, diduga kuat kampus merupakan ladang yang sangat diincar oleh para teroris. Hal ini dikuatkan dengan ditangkanya Fajar Firdaus, Sony Djayadi dan Afham Ramadhan yang dijadikan sebagai tersangka karena menyembunyikan Syahrir dan Syaifudin Zuhri, ketiga orang ini merupakan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kini dunia kampus semakin terus diawasi segala gerakannya, dakwah kampus menjadi sorotan aparat karena kegiatan pengajian mingguan yang dilakukan oleh aktivis dakwah kampus dianggap sama dengan kegiatan yang pernah dilakukan oleh syaefudin Zuhri ketika berada di persembunyiannya.

Benarkah teroris masuk Kampus? Mungkin inilah pertanyaan yang muncul dalam pemikiran masyarakat Umum dan khususnya para mahasiswa. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kampus dikenal sebagai wadah kebebasan berpikir dan beraksi, tentu menjadi ladang subur tersebarnya virus terorisme. Realitas ini, sekali lagi, bisa menjadi daya dorong lahirnya pemikiran radikal yang menyusup ke dalam otak kaum intelektual. Apalagi, budaya diskusi, tukar-pikiran, bedah buku, debat terbuka, dan acara-acara ilmiah lain, bisa juga menjadi media penyebaran faham ideologi teroris. Kebebasan berpikir dan bertindak bagi kaum intelektual, lalu didukung oleh emosi remaja yang masih meletup-letup dan tingginya tingkat idealisme diri yang didukung angin segar dari dalil-dalil agama yang menjadi justifikasi kebenaran sikap dan keyakinan mereka, ini semua kian memperkokoh akar ideology.

Namun semua itu bukanlah penyebab utama tumbuhya teroris dikampus, karena sekian banyak para mahasiswa yang berhasil direkrut semua memiliki pemahaman Islam yang masih kosong dan pemehaman yang keliru.

Namun Jika dicermati, akar terorisme atau kekerasan di tengah-tengah kaum Muslim bisa karena beberapa kemungkinan. Pertama: Adanya pemahaman agama yang keliru. Dalam hal ini, harus diakui bahwa ada sebagian orang/kelompok Islam yang menjadikan teror atau kekerasan atas nama jihad sebagai bagian dari upaya melakukan perubahan masyarakat. Mereka ini pada dasarnya tidak memahami tharîqah (metode) Rasulullah saw.—yang sebetulnya tidak pernah menggunakan kekerasan—selama dakwahnya pada Periode Makkah. Bahkan aksi jihad (perang) baru dilakukan oleh Rasulullah saw. setelah berdirinya Negara Islam di Madinah, yang sekaligus saat itu beliau menjadi kepala negaranya. Artinya, jika orang/kelompok dakwah konsisten memahami bahwa kondisi saat ini sama dengan kondisi Makkah, maka tharîqah dakwah Rasulullah saw. di Makkah—yang tidak pernah menggunakan aksi-aksi kekerasan—itulah yang harus dicontoh saat ini.



Kedua: Adanya faktor luar berupa terorisme yang di lakukan oleh negara-negara penjajah seperti AS dan sekutunya di negeri-negeri Islam. Inilah yang disebut dengan terorisme negara (state terrorism). Terorisme negara ini telah menimbulkan ketidakadilan yang memicu kebencian yang mendalam di Dunia Islam sehingga mendorong sejumlah aksi-aksi perlawanan tidak hanya di wilayah kekerasan, tetapi juga di sejumlah wilayah lain.



Ketiga: Adanya operasi intelijen demi melakukan stigmatisasi dan monsterisasi terhadap Islam dan kaum Muslim. Diakui atau tidak, operasi ini sering dilakukan oleh intelijen asing secara langsung maupun dengan ‘meminjam’ tangan-tangan lain. Paling tidak, itulah yang sering dilontarkan oleh Mantan Kabakin AC Manulang. Terkait dengan kasus “Bom Marrriot 2”, misalnya, AC Manulang mensinyalir bahwa kasus tersebut merupakan kerjaan intelijen (Media Umat, Ed. I8/7-20 Agustus/2009).


Dari tiga kemungkinan di atas, sebagian kalangan, termasuk Pemerintah, sayangnya terkesan hanya fokus pada kemungkinan pertama saja. Sebaliknya, dua kemungkinan terakhir sering diabaikan. Padahal dua kemungkin terakhir inilah yang pada faktanya menjadi faktor utama dari mencuatnya kasus-kasus terorisme. Mengapa, misalnya, tidak ada satu pun pihak, termasuk Pemerintah, yang mempersoalkan tindakan terorisme AS dan sekutu-sekutunya terhadap Irak, Afganistan, Pakistan, Palestina, Somalia, dll yang nyata-nyata telah menewaskan jutaan manusia? Padahal jelas, siapapun yang ingin serius memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya seharusnya berupaya menghilangkan sumber utama munculnya terorisme itu, yakni dengan menghentikan langkah-langkah AS yang biadab dan kejam ini.

Lalu menyangkut faktor ketiga, sejumlah aksi terorisme, seperti Peledakan Gedung WTC pada tanggal 11 September 2001 sampai sekarang tidak dapat dibuktikan, bahwa itu betul-betul tindakan teroris yang didalangi Osama bin Laden. Sudah banyak pengamat Barat (AS) sendiri menyebut kasus Peledakan WTC 11 September 2001—yang menjadi pemicu awal isu terorisme—sebagai penuh rekayasa, dan sangat mungkin didalangi oleh pemerintahan AS sendiri demi proyek jangka panjangnya: Perang Melawan Terorisme.

Demikian pula di dalam negeri, yakni Kasus Bom Bali 1 dan 2, juga Kasus Bom Marriot 1 dan 2, yang juga sangat mungkin merupakan hasil ‘kerjaan intelijen’ asing. Ini karena banyaknya kejanggalan dalam kasus tersebut, yang sudah banyak diungkap oleh para pengamat. Tujuannya tidak lain, lagi-lagi demi terus-menerus memojokkan Islam dan kaum Muslim.

Walhasil, jika Pemerintah terus-menerus mengabaikan dua faktor terakhir ini, kasus-kasus terorisme akan sangat sulit diselesaikan, karena kasus-kasus tersebut memang dikehendaki oleh pihak asing, yakni negera-negara penjajah seperti AS dan sekutunya, demi terwujudnya target mereka: terus memojokkan sekaligus melemahkan kekuatan Islam dan kaum Muslim.
Dengan demikian tentunya dakwah kampus pun menjadi sorotan aparat dan bahkan mungkin menjadi target operasi.

Namun, selaku mahasiswa yang aktif dalam dakwah kampus, saya katakana bahwa dakwah kampus bukan tempat tumbunya teroris, namun sebagai tempat mendidik manusia yang berakhlak dan membasmi pemikiran radikal yang menyebabkan munculnya teroris. Wallahu ‘alam bisssawab